Tuesday, November 22, 2011

PAGERWESI, Sebuah Kajian Filosofis

Om Swastyastu-Salam Kasih

Ya Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah Brahma, Visnu dan Śiva,dalam wujud-Mu sebagai guru yang Maha Agung, kami mempersembahkan pūjā dan bhakti kami. Gurupūjā, 2.

Pada hari Budha Kliwon Pagerwesi, hari untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Parameṣṭi Guru, Guru yang Maha Tinggi atau Maha Agung. Hari yang dirangkaikan pemujaannya dengan Sarasvatī, Śrī Lakṣmī, yang dirayakan berturut-turut selama lima hari, mulai hari sabtu Umanis Watugung.

Bila kita memperhatikan hari-hari raya keagamaan Hindu di India dan di Indonesia sesungguhnya tidak terdapat perbedaan makna dari hari-hari raya keagamaan dimaksud. Umat Hindu di India merayakan upacara Śrāddha Vijaya Dasami atau Durgapūjā, di Indonesia kita merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Demikian pula Sarasvatī, Śivaratri dan lain-lain. Beberapa hari raya namanya sama, tetapi ada juga yang maknanya sama namun namanya berbeda, juga terdapat perbedaan dalam merayakan hari-hari raya keagamaan itu. Di India hari-hari raya keagamaan itu hanya berdasarkan Tahun Surya dan Bulan (Solar dan Lunar System), di Indonesia mempergunakan kedua sistim itu dan juga sistem Pawukon. Sistim Pawukon ini rupanya sistem kalender asli Nusantara dan ketika agama Hindu masuk ke Nusantara, di kepulauan ini penggunaan sistim Pawukon rupanya telah sangat memasyarakat, oleh karena itu, sistim yang merupakan warisan leluhur bangsa ini tetap dilestarikan dengan cara menempatkan hari-hari raya keagamaan Hindu yang datang dari India dalam sistim Pawukon itu. Beberapa hari raya keagamaan Hindu yang dimasukan dalam sistem Pawukon antara lain: Pagerwesi (di India disebut Guru Purnima)ditempatkan pada hari Budha Kliwon Sinta ( hari ketiga dari wuku pertama ), Durgapūjā, Śrāddha Vijaya Dasami atau Navaratri di Bali disebut Galungan-Kuningan pada hari Budha Kliwon Dungulan hingga Saniscara Umanis Kuningan (dirayakan selama 10 hari), hari-hari seperti Ayudhapūjā (pada Saniscara Kliwon atau Tumpek wuku Landep), Sankarapūjā (Tumpek Wariga) dan Sarasvatī pada hari terakhir, Wuku terakhir, yakni Sabtu (Saniscara) Umanis, wuku Watugunung.

Baik di India maupun di Indonesia dalam memperingati hari-hari raya keagamaan umat Hindu melakukan hal yang sama, yakni mempersembahkan sesajen dan melakukan sembahyang baik pada tempat persembahyangan keluarga (biasa berupa altar dengan beberapa arca pada kamar suci), pada mandir, yakni pura terdekat, atau pura-pura yang besar yang sangat terkenal. Bila mereka melakukan persembahyangan pada pura-pura yang letaknya jauh dari rumah, biasanya umat Hindu sekaligus melakukan Tirthayatra yang pada umumnya bermalam di pura dengan melakukan berbagai aktivitas keagamaan seperti Japa, meditasi dan Bhajan atau menyanyikan lagu-lagu keagamaan (kidung).

Di Indonesia, Pagerwesi yang mempunyai makna sama dengan Guru Purnima dirangkaikan perayaannya dengan Sarasvatī dan Banyu Pinaruh (pemujaan kepada Sarasvatī), jatuh pada hari terakhir wuku terakhir, yakni Saniscara Umanis wuku Watugunung dan hari pertama dari wuku pertama, yakni Redite Pahing wuku Sinta, dengan Some Ribek dan Sabuhmas, yang jatuh pada hari Soma Pon dan Anggara Wage wuku Sinta.Hari Sarasvatī dan Banyu Pinaruh (Air Ilmu Pengetahuan) adalah hari untuk memuja dewi Sarasvatī sebagai dewi ilmu pengetahuan, maka pada hari Somaribek dan Sabuhmas adalah hari untuk memuja dewi Śrī Lakṣmī dan Pagerwesi adalah untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa dalam wujud-Nya sebagai Śiva Parameṣṭi Guru, yakni guru tertinggi di jagat raya ini. Makna pemujaan kepada Śiva Parameṣṭi Guru ini adalah sama dengan makna hari raya Guru Purnima yang jatuh pada bulan Purnama Sravana (di Indonesia disebut Purnama Kasa) yang jatuh pada bulan Juli-Agustus. Pada hari Guru Purnima di samping memuja Tuhan Yang Mahaesa, juga memuja para ṛṣi dan ṛṣi yang paling agung mendapat penghormatan adalah mahaṛṣi Vyasa yang menghimpun dan mengkodifikasikan kitab suci Veda bersama para siswanya, seperti : Sumantu, Pulaha, Jaimini dan Vaisampayana.

Bila di Indonesia bentuk perayaan berupa persembahyangan terhadap Sang Hyang Parameṣṭi Guru atau guru tertinggi, yang dimaksud tidak lain adalah Sang Hyang Śiva atau Sang Hyang Guru (Mahaguru). Dalam seni arca digambarkan sebagai laki-laki berjanggut dan berkumis lebat (berewok), perutnya gendut, memegang kendi Amrta serta membawa tongkat dengan ujung bercabang tiga (Trisula). Mahaṛṣi Agastya, seorang tokoh penyebar Hindu dari India Utara ke Selatan, bahkan juga sampai Asia Tenggara dan Indonesia, digambarkan juga sebagai Sang Hyang Guru (Mahaguru) oleh karena itu Agastya diidentikan dengan Isadevatanya ini.

Di samping dalam seni arca, mahaṛṣi Agastya disebut-sebut juga sebagai saksi agung perbuatan umat manusia dan dinyatakan dalam sumpah di Pengadilan yang terkenal dengan sumpah Sang Hyang Hari Chandani. Di Bali dan juga di daerah Sulawesi Selatan disebut Bhattara Guru, yakni guru agung umat manusia.

Untuk memahami lebih lanjut tentang makna pemujaan pada hari Guru Purnima di India dan membandingkannya dengan pemujaan hari Pagerwesi di Indonesia, kiranya perlu diinformasikan tentang tata cara pemujaan hari Guru Purnima yang berlangsung di Śivananda Ashram, Rishikesh, Uttar Pradesh, sebagai berikut :
1. Semua siswa dan Sanyasin di ashram telah bangun pagi-pagi benar(saat Brahmuhurta,sekitar jam 04.00).Mereka bermeditasi kepada Guru (Parameṣṭi Guru) dan mengucapkan mantra-mantra Gurupūjā.

2. Selanjutnya mempersembahkan sesaji di kaki Guru dan diiringi mantra Gurugita.
3. Selanjutnya pada siang harinya, para Sadhu dan Sanyasin menerima persembahan sajianberupa hidangan (prasadam di Bali disebut lungsuran).

4. Kemudiandiselenggarakan Satsang atau Dharmatula membahas makna spiritual Gurupūjā khususnya dan topik-topik menarik lainnya.

5. Para siswa yang telah siap untuk diinisiasi (di-Diksa) menjadi Sanyasin dilakasanakanpada hari ini juga.

6. Para siswa umumnya melaksanakan Brata dan Upavasa sepanjang hari untuk kemajuan spiritual.Bagi yang mampu sangat baik melakukan Monabrata(tidak berbicara) dan tidak menikmati makanan danminuman,namun bagi siswa tertentu hanya minum susu segar saja atau hanya buah-buahan sepanjang hari.

Pada malam hari kembali berkumpul di Aula dan melakukan Bhajan (kidung)bersama memuja keagungan-Nya.Bentuk pemujaan yang paling baik adalah dengan mengikuti semua ajarannya, mampu memancarkan dan mewujudkan ajarannya dan senantiasa memajukan dan menjunjung pesan-pesan-Nya.

Demikian antara lain bentuk pemujaan kepada Guru di India, di Indonesia kita mengenal ajaran Tri Guru dan Catur Guru. Yang dimaksud dengan Tri Guru adalah :
1. Guru Rupaka atau Rekha,yakni orang tua,ibu-bapa yang melahirkandanmemelihara kita.
2. Guru Vidya atau Pangajian,yakni para guru yangmemberikan pendidikandan pengajaran.
3. Guru Visesa yakni pemerintah yang bertanggung jawa mensejahtrakan masyarakat.

Sedang yang dimasud dengan Catur Guru adalah Tri Guru tersebut digabungkan dengan Guru yang tertinggi, yakni Parameṣṭi Guru. Guru yang keempat ini disebut Guru Svadhyaya. Di dalam masyarakat Guru Svadhyaya juga diartikan belajar sendiri dan menjadikan Tuhan Yang Mahaesa Esa sebagai pembimbing untuk kemajuan kehidupan spiritual.

Bila di India terutama dalam tradisi Ashram, dilakukan upacara pemujaan kepada Guru sedemikian rupa dipimpin oleh Sanyasi, Swamiji, Sadhu atau Pandit, di Indonesia (Bali) rupanya karena tradisi ashram telah putus digantikan oleh sistem Pasiwan di geria- geria para pandita secara tradisional, maka hari raya Pagerwesi hanya dirayakan dengan persembahan sesajen terutama di pura keluarga seperti pamarajan, panti, paibon dan sejenisnya, sedang makna pemujaan ini tidaklah demikian memasyarakat.

Memperhatikan bentuk-bentuk pemujaan, baik di India maupun di Indonesia (Bali), kiranya makna yang terkandung dalam merayakan hari Pagerwesi adalah untuk mengingatkan kita terhadap keagungan Tuhan Yang Mahaesa serta peranan para mahaṛṣi atau guru-guru agung terutama di bidang spiritual. Pagerwesi juga mengingatkan kita bahwa bahwa proses belajar mengajar berlangsung terus menerus hingga ajal memanggil. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan pemujaan sebelumnya, yaitu Sarasvatī dan Śrī Lakṣmī. Di sini aspek kemahakuasaan-Nya didambakan oleh umat manusia untuk pengetahuan, kesejahtraan dan kebahagiaan. Sarasvatī memberikan inspirasi dan membimbing manusia untuk belajar dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, Śrī Lakṣmī menganugrahkan kesejahtraan dan kemamuran dan Sang Hyang Parameṣṭi Guru menganugrahkan kebahagiaan yang sejati.

Makna Pagerwesi bila dikaitkan dengan perkembangan dunia modern, terlebih lagi dalam usaha meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang dalam era globalisasi kualitas perorangan dan masyarakat sangat diperlukan. Persaingan untuk hidup dan mencari kehidupan akan semakin sulit dan untuk itu peranan pendidikan teristimewa pendidikan mental, moral dan spiritual sangatlah mutlak. Perkembangan dunia menunjukan bahwa manusia yang tidak memiliki kualitas, kemampuan dan kreativitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sangat sulit bersaing dan selalu ketinggalan dalam meningkatkan kesejahtraan masyarakatnya.

Pengembangan sumber daya manusia tidak hanya beṛṣifat jasmaniah tetapi juga rohaniah. Untuk itu dalam mengembangkan pendidikan modern dewasa ini, kita tidak dapat melepaskan diri dengan konsepsi pendidikan Ashram yang sangat memperhatikan kualitas pribadi setiap siswa dan kecendrungan manusia untuk bekerja dan bermain ataupun bernyanyi, oleh karena itu perlu dikembangkan sistem pendidikan yang memadukan kecendrungan itu. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membiasakan diri (Abhyasa), dapat mensyukuri nikmat yang merupakan anugrah-Nya (Santosa) dan mampu melepaskan diri dari keterikatan yang beṛṣifat duniawi (Vairagya/Tyaga) serta hidup berkeseimbangan lahir dan batin (Sthitaprajna).

Demikian antara lain makna yang terkandung dari pemujaan yang dilangsungkan pada hari Pagerwesi, semoga melalui pemujaan kehadapan Sang Hyang Parameṣṭi Gurtu, kita senantiasa dibimbing di jalan yang benar.

Oṁ Asato mā sad gamaya Tāmaso mā jyotir gamaya mṛtyor mā amṛtam gamaya - Ya Tuhan Yang Mahaesa, bimbinglah kami dari yang tidak benar menuju yang benar,dari kegelapan pikiran menuju pikiran yang terang. Jauhkanlah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi.
Salam Rahayu

I Wayan Sudharma (Mangku Shri Dhanu)